ISLAM DAN MASA DEPAN NUSANTARA
Edisi 1: Penderitaan dan penistaan yang dialami bangsa Indonesia dalam periode panjang “perbudakan” telah menggumpalkan tekad kolektif untuk merdeka. Para santri dan rakyat bahu-membahu berjuang untuk mengusir kaum kafir penjajah dibawah komando para Ulama dan Umara umat. ... Kita menemukan nama-nama besar Ulama dan Umara yang hadir di kancah Revolusi kemerdekaan seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, dll. Pekik takbir untuk berjihad mengusir kaum kafir penjajah lah, bukan nasionalisme sempit seperti pengaburan sejarah yang dilancarkan kaum nasionalis sekuler, yang menggelorakan semangat mereka untuk berjuang meraih kemerdekaan atau syahid fi sabilillah.
Revolusi kemerdekaan yang menggema di seantero Nusantara menemukan puncaknya ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Cahaya yang terpancar dari cita-cita untuk hidup sebagai masyarakat bermartabat yang adil dan makmur, setelah lebih dari 3,5 abad diperkosa hak-haknya oleh kaum kolonialis-imperialis kafir, di alam kemerdekaan mulai bersinar. Jiwa-jiwa yang lelah menjadi budak di tanah sendiri kini memiliki keyakinan kuat untuk menjadi “tuan” di tanah airnya. Cita-cita untuk segera menemukan kembali “negeri yang hilang”, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, pun terpancang dengan mantap.
Akan tetapi, belum lagi kering bekas tangis haru kemerdekaan di sajadah para Ulama dan Umara pejuang kemerdekaan, orang-orang nasionalis sekuler--yang belakangan disebut sebagai “founding fathers”--telah menghianati pengorbanan para syuhada di bumi Nusantara. Merdeka dari “thogut lama” pada tanggal 17 Agustus, bangsa ini jatuh ke “thogut baru” pada esok harinya (18 Agustus) setelah Piagam Jakarta dikebiri (piagam yang awalnya disebut oleh Soekarno sebagai the gentleman agreement). Sejak saat itu, sejarah NKRI mencatat “pemberontakan” yang digelorakan oleh orang-orang seperti Daud Beureuh (Aceh) dan S.M. Kartosoewirdjo (Jawa Barat) yang merasa telah “dihianati” oleh penguasa Republik.
Indonesia merdeka di akhir-akhir Perang Dunia Kedua. Dalam periode singkat setelah itu, dua kutub ideologi dunia (Kapitalisme dan Komunisme) terlibat perang dingin untuk berebut dominasi di negara-negara dunia ketiga yang tengah mencari “pola” setelah berabad-abad diperbudak adan diperbodoh oleh negara-negara imperialis. Indonesia muda pun masuk dalam kancah “perebutan dominasi” itu, mengingat posisi strategis dan sumber daya alamnya yang melimpah. Efeknya bagi kebijakan nasional sangat terasa, dimana kebijakan-kebijakan tersebut sering tarik ulur sehingga tidak jelas lagi mana yang murni “kebijakan kita” mana yang merupakan “kebijakan rekanan”.
Komunisme yang tumbuh subur di belahan bumi Utara dan Timur, dibawah bayang-bayang Unisoviet dan Cina, sangat gencar melakukan manuver untuk “meng-komunis-kan” Nusantara. Kapitalisme yang menggurita di belahan bumi Barat dan Selatan, dibawah arahan USA dan Inggris, tak kalah hebat melakukan penetrasinya. Di sisi lain, para Ulama dan Umara yang mewakili aspirasi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim sangat menyadari hal ini. Tak ada perasaan inferior dalam mendebat kapitalisme dan komunisme yang sedang eksis meski Khilafah Utsmani (sebagai pengemban ideologi Islam) telah runtuh jauh-jauh hari. Pragmatisme Soekarno akhirnya menggiring bangsa ini menuju Nasakom yang terbukti gagal total! Puncaknya adalah Pemberontakan G30/S/PKI yang kontroversial itu.
Pancasila ditafsirkan dengan konsep Nasakom di era Orde Lama berkuasa. Aroma sosialisnya begitu kentara, meski belakangan “diperhalus” oleh Bung Karno sebagai Marhaenisme. Orde Baru dibawah otoritarianisme Jenderal Soeharto “berhasil” menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya “penunggalan” asas ini diwarnai oleh teror dan intimidasi terhadap ideologi dan asas lain; Komunisme dan Islam. Pancasila di era Orde Baru ditafsirkan lebih dekat ke “Kapitalisme”. Masuknya para “Mafia Berkeley” ke jantung sistem ekonomi kita, telah menggiring Indonesia secara de facto menjadi Negara “kapitalis tidak resmi”, karena secara de jure masih mengaku Negara yang Pancasilais. Di Orde Reformasi? Pancasila ditafsirkan secara lebih Liberal dibawah jargon-jargon propaganda Barat semisal demokrasi, HAM, Pluralisme, Sekulerisme, Feminisme, Liberalisme, dan isme-isme lainnya yang kufur. Mahasiswa yang mengkaji “ideologi” Pancasila akan bertanya-tanya penafsiran mana yang benar-benar Pancasilais: yang agak komunis atau yang agak kapitalis atau yang agak religius-pluralis? Semuanya terasa kabur dan semu. Sekabur pernyataan, “Indonesia bukan negara sekuler juga bukan negara agama!”
Masa depan Nusantara di Bawah Sistem Islam
Setelah penguasa Republik ini berkali-kali gagal dalam eksperimen “penafsiran” terhadap Pancasila, sudah saatnyalah memberi kesempatan kepada Islam untuk diterapkan sebagai solusi total permasalahan yang melanda negeri berpenduduk mayoritas muslim tersebesar di dunia ini. Pergesekan ideologi yang berlarut-larut di negeri ini harus secepatnya disudahi dengan memberi jalan kepada Islam guna membimbing umat manusia ke “jalan yang lurus” untuk menemukan kembali “negeri yang hilang”, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, sebagaimana telah menjadi cita-cita kita bersama. Ruwetnya permasalahan yang melanda negeri ini merupakan bukti factual kegagalan sistem yang ada. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, silih bergantinya bencana yang seolah tak kenal henti, moralitas masyarakat yang kian merosot, sumber daya alam yang “dijarah” secara “legal” oleh para kapitalis, disintegrasi yang setiap saat mengancam keutuhan wilayah kita, korupsi yang sistemik, munculnya aliran-aliran sesat yang merusak kemurnian Islam dan keharmonisan umat, dan sejumlah “pekerjaan rumah” lainnya yang tak kunjung menemukan pemecahan yang jitu dan tepat.
Islam memiliki sistem yang tidak saja unggul secara konseptual, tetapi juga telah terbukti unggul dalam realitas historis ketika Khilafah Islam masih tegak. Komunisme telah gagal sebelum sampai pada cita-cita menegakkan negeri tanpa kelas sebagaimana digagas oleh Karl Marx. Pandangan ekstrim terhadap kolektivitas komunal sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Apalagi penentangannya terhadap eksistensi Tuhan. Kapitalisme pun telah gagal memberikan kemakmuran dan keadilan kepada umat manusia. Dalam Kapitalisme, hukum rimba primitif lah yang berlaku: homo humini lupus. Tidak mengherankan, meski mengalami kemajuan di sisi Iptek, Kapitalisme gagal mewujudkan kemakmuran bagi umat manusia karena distribusi yang tidak merata mutlak dibutuhkan “kapitalisme” agar tetap eksis. Kemajuan pihak lain dibangun di atas puing-puing kehancuran pihak lainnya.
Kedua sistem tersebut tidak mengakui eksistensi Tuhan di ruang publik, bahkan komunisme mengingkari eksistensi-Nya secara absolut. Dalam sistem Kapitalis, corak sekuler tidak bisa dilepaskan dari perangkat sistem tersebut. Peran Tuhan dipinggirkan ke “penjara-penjara sunyi” seperti kamar tidur, altar gereja, dan ruang pengakuan dosa. Tuhan “tidak boleh” hadir di keramaian. Intinya, kedua sistem ini telah mengingkari naluri manusia yang paling mendasar terkait eksistensi Tuhan.
Sistem ekonomi, politik, peradilan, dan keseluruhan sistem sosial lainnya sudah sangat lengkap, komprehensif dalam Islam, dan terbukti unggul ketika diterapkan semasa Khilafah Islam tegak. Hal ini bisa diperbandingan secara konseptual dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. Hal ini bisa juga diperbandingkan secara “empiris” dengan membandingkan kondisi kemanusiaan yang dicapai kedua sistem kufur tersebut dengan pencapaian “empiris” Islam di masa sistem ini ditegakkan. Will Durant telah “bersaksi” dalam The Story of Civilization, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luas wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”
Hanya dalam sistem Islam naluri manusia mendapat penyalurannya secara proporsional dan benar. Hanya dalam sistem Islam manusia bisa seratus persen menjadikan dirinya sebagai hanya hamba bagi Tuhan semesta alam. Hanya dalam sistem Islam para thogut tidak mendapat tempat. Hanya dalam sistem Islam prinsip “vox populi vox dei” bisa dihapuskan. Dan memang hanya dalam sistem Islam lah cita-cita masyarakat Nusantara untuk hidup adil dan makmur terlaksana dalam frame baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Ini telah terbukti secara konsep dan “empiris”.
Sebenarnya, persoalan kita dewasa ini bukanlah “konsep mana yang unggul”, karena Islam telah terbukti paling unggul. Persoalan yang sebenarnya adalah, sebagaimana diungkapkan mantan ketua DDII almarhum KH. Husein Umar, pertarungan ideologi dan sikap pragmatis. Baru-baru ini, Presiden SBY kita yang tehormat, menginstruksikan agar Rancangan Undang-Undang terkait Pasar Modal Syariah segera diselesaikan. Tapi, kita juga cukup terkejut dengan “keseriusan” Pak Presiden dalam menanggapi isu “poligami”. Jadi, benar sekali apa yang diungkapkan Almarhum K.H Husein Umar di atas, kebanyakan pemimpin kita (juga sebagian besar ulama) bersikap pragmatis dan kehilangan ruh ideologisnya.
Karena telah jelas persoalannya, mari kita ceburkan diri dalam kancah “perang ideologi” ini. Allohu Akbar!










Anonim
1 September 2008 pukul 02.32
Tetap istiqomah dijalan kebenaran